Minggu, 26 Februari 2017

Parenting with Elly Risman and family Pernyataan tentang Buku “Aku Belajar Mengendalikan Diri”

Menulislah dengan Ilmu dan Menulislah dengan Bijak

Kata-kata di atas terutama ingin saya tujukan bagi diri saya sendiri dulu,baru mungkin bagi teman teman yang ingin menulis buku tentang anak-anak khususnya tentang seksualitas anak. Mengapa?       
Karena beberapa hari belakangan ini, berbagai pesan masuk pada saya dan tim Yayasan Kita dan Buah Hati mengenai sebuah buku yang mungkin anda sudah tahu: ditulis oleh Fita Chakra yang berjudul : "Aku Belajar Mengendalikan Diri dalam Seri Aku Bisa Melindungi Diri"
Semua teman-teman ini mengungkapkan keresahan hati mereka tentang isi dari buku ini karena dinilai tidak tepat baik untuk dibaca anak-anak maupun jika dibaca 'bersama anak' seperti penjelasan dari penerbit tentang tujuan memasarkan buku ini.

Tim YKBH, dengan sigapnya langsung mencari buku ini. Khawatir akan kesulitan mendapatkannya, kami membeli langsung dari penerbit. Ternyata kami mendapatkan buku ini sangat mudah dan dalam hitungan jam saja walaupun klarifikasi dari penerbit mengatakan bahwa buku ini sudah ditarik sejak 2016.
Herannya juga, saat kami membeli tidak ada pertanyaan atau saran apapun. Tetapi kami sangat terkejut, ketika sehari kemudian pihak penerbit menanyakan:”Ga ada masalah kan, Bu? Soalnya banyak reseller complain. Buku itu memang harus dibaca dengan didampingi orangtua bu karena bahasanya agak sedikit vulgar”. Lhaa?!!

*Pertanyaan 1: Jadi sebenarnya buku sudah ditarik dan tidak dijual lagi apa belum sih?*

Sebelum memberi pernyataan ini, selain saya membaca dengan seksama bukunya, saya berusaha mempelajari penjelasan dan pembelaan penerbit dan beberapa postingan tentang pernyataan penulis lewat akun temannya, serta permintaan maaf penulis di blognya.
                                                      
Banyak sekali saya menemukan inkonsistensi dalam penjelasan penerbit maupun penulis. Sehingga saya *mengira* buku ini seperti puluhan buku lain sebelumnya yang dipermasalahkan dan meresahkan masyarakat; di produksi sebagai bagian dari “acting out!"

Ini beberapa alasannya:

Lepas dari judulnya, buku ini menceritakan bagaimana anak yang tidak bisa tidur menemukan sebuah "Permainan baru yang mengasyikkan". Ternyata, permainan tersebut adalah memeluk guling dengan kedua kaki lalu bla-bla. Kegiatan ini membuat anak ini mengatakan : "Jantungku berdebar tapi aku senang". Isi halaman berikutnya:”Sesekali aku memasukkan tanganku kedalam celana... aku mengulangnya lagi dan lagi...”
Cara penulis menggambarkan apa yang dilakukan dan dirasakan oleh "Aku" ini, sangat “praktis konkrit” sesuai dengan cara berpikir anak dan sangat “sekuensial” (jelas urut urtannya) sehingga anak mana saja yang membacanya dapat dengan mudah sekali menirukannya.

Entah penulis dan penerbit sadar atau tidak, bahwa anak-anak seusia target buku tersebut (7 tahun), termasuk anak-anak yang masih suka sekali “MENIRU DAN INGIN TAHU”.
Apa yang mereka ingin tahu? :”RASANYA!!”
Apalagi buku tersebut menuliskan : "Jantungku berdebar tapi aku senang".                                                                                                                    

Walaupun penerbit mengatakan bahwa buku ini adalah buku panduan untuk orangtua atau bisa dibaca bersama dengan anak-anak, tapi penggunaan sudut pandang orang pertama dengan pemberian sebutan "aku" pada tokoh ini, ukuran gambar, warna, lay out dan jumlah kalimat perhalaman jelas peruntukannya bagi anak anak, bukan untuk orangtua!. Semua ini akan membuat pembaca dalam hal ini anak-anak, merasa dekat dengan tokoh ini . Dengan demikian tetap terbuka kemungkinan bahwa anak akan membacanya sendiri bukan?   

Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anak yang membaca buku ini kalau dia mengalami hal yang sama dengan tokoh "Aku" : tidak bisa tidur?

Pertanyaan 2: Bagaimana mungkin seseorang menuliskan hal seperti ini tidak  mempertimbangkan  bahwa  anak-anak yang membaca sangat mugkin  melakukan hal serupa bila mengalami atau tidak mengalami situasi yang sama?

Pertanyaan 3 : Penerbit mengatakan bahwa pembuatan buku ini untuk:
a. Membantu ortu menjelaskan pada anak tentang pentingnya melindungi diri dari :
- orang-orang yang berniat tidak terpuji
- ancaman penyakit
- kejahatan seksual
b. Memberikan pengetahuan dasar seksual yang penting untuk diketahui anak sejak dini
c. Memberikan cara apa yang orang tua lakukan jika ia mendapati anaknya melakukan masturbasi.
Dibagian mana dari buku ini yang berisikan tentang hal hal tersebut diatas?  
                                           
Selain itu, yang paling lucu adalah penerbit mengatakan bahwa : "Ada baiknya buku ini dibaca ortu dan anak untuk upaya mencegah anak melakukan hal serupa”
Maksudnya mencegah? Bukannya isi buku ini justru mengajarkan bagaimana melakukannya untuk memperoleh kesenangan? Jadi bagaimana orangtua merubah fakta yang tertulis dan tergambar ini untuk kemudian mengajarkan anaknya???.

Panjang sekali jadinya kalau kita membahas tentang inkonsistensi dari pernyataan penerbit dengan kenyataan yang ada dalam buku ini. Tapi ada hal yang paling tidak menarik di bagian akhir pernyataan bahwa penerbit menganggap masyarakat Indonesia belum siap untuk pendidikan seksual usia dini. Wow!
Menurut hemat saya, “masyarakat Indonesia sangat siap dan sangat membutuhkan untuk diberikan pendidikan yang benar tentang hal ini”. Tapi bukan mengajarkan hal-hal tentang bagaimana anak bisa menyenangkan dirinya sendiri dengan kemaluannya pada usia yang sangat dini .
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi saya fikir kita harus menyadari bahwa masyarakat pembaca kita sekarang ini sangat cerdas dan kritis. Jadi jangan karena mereka menunjukkan reaksi yang benar terhadap kekeliruan yang anda lakukan kemudian anda menilai mereka tidak siap. Kurang “Fair” ya menurut saya.

Tentang penulis, saya memutuskan untuk menghubunginya langsung untuk tabayyun setelah seorang kawan dari AILA meminta waktu saya agar penulis bisa bicara dengan saya.
Saya sangat memahami bagaimana berat dan galau perasaannya menghadapi berbagai bentuk reaksi masyarakat luas. Saya mencoba membaca bukunya yang lain, tampak oleh saya hasratnya untuk menolong orang tua lewat tulisan- tulisannya. Sehingga menarik buat saya untuk tahu dari dia langsung mengapa paparannya dalam buku yang "heboh" ini jadi begitu berbeda dan vulgar!.

Setelah diam sejenak, dia menjawab pertanyaan saya bahwa dia sekedar mengambil contoh dari persoalan yang pernah diajukan oleh salah seorang temannya. Tidak disangkanya dengan menuliskan begitu saja contoh tersebut, dia mendapat reaksi yang sedemikian rupa.

Saya menjelaskan hal yang semua orang sudah tahu, bahwa yang namanya manusia gak ada yang tidak berbuat salah, termasuk saya. Kalaulah tidak begitu kita mungkin bukan manusia dan tidak akan ada pepatah: “Sepandai pandai tupai melompat sekali akan jatuh juga dia ketanah”. 
Saya memperkirakan bahwa penulis sedang lalai memilih cara mengungkapkan suatu masalah seksualitas anak.

Hal lain yang saya sayangkan dari penjelasan penerbit dan  yang diuraikan  penulis dibagian akhir buku ini ada anggapan yang menurut saya selain menggeneralisir masalah juga sangat keliru: seolah semua anak yang merasa "Bosan dan Stress” ingin melakukan ‘masturbasi’. Kata masturbasi juga sangat tidak tepat untuk anak usia 4-7 tahun yang berada di phase phallic.
Menurut hemat saya, apa yang dilakukan anak anak usia 4 tahun keatas yang menemukan kesenangan atau kenikmatan mempermainkan kemaluannya adalah konsekuensi dari perkembangannya. Anak menemukan bahwa bagian-bagian tertentu tubuhnya bisa menimbulkan kesenangan dan kenikmatan, dan karena itu mereka mengulang-ulang menyentuhnya.
Ini normal terjadi bukan hanya pada anak laki laki tetapi juga pada anak perempuan. Tapi bukan berarti semua anak yang merasa "Bosan dan stress” akan menggunakan alat kelamin untuk mengatasinya. Ada juga anak yang menemukan kesenangan pada pusar, hidung, telinga, dll.

Saya dan teman teman di YKBH percaya bahwa masih banyak cara lain yang anak-anak lakukan untuk mengatasi bosan dan stres serta tidak selalu arah yang negatif. Anak-anak yang diarahkan dengan baik dan sehat oleh orang tuanya akan mengatasi bosannya dengan menciptakan sendiri permainan yang menyenangkan. Misalnya meletakkan kain atau sajadah diatas dua kursi yang berdekatan dan memainkannya sebagai Barongsai, dan berbagai permainan ciptaan sendiri yang tak terhitung jumlahnya.

Selain itu, para ahli mengemukakan bahwa penanganan masalah kecenderungan anak mencari kesenangan dengan kemaluannya ini harus hati-hati sekali, antara lain jangan sampai konsep kemaluan menjadi sangat negatif. Tidaklah cukup dengan menanyakan apa yang dilakukan anak, menasehatinya, meminta anak berjanji tidak mengulangi, kemudian mengalihkannya pada perilaku lain seperti:” pergi berenang dengan ayah” atau hal lainnya, tetapi sebagai orang tua kita  :

a. Harus menjelaskan bahwa ada bagian tubuh yang memang menyenangkan bila disentuh selain dari kemaluan, misalnya juga lubang kuping .Lalu jelaskan mengapa. Anak-anak membutuhkan “alasan” / reason why dari sesuatu yang kita jelaskan, larang atau suruh : mengapa boleh dan tidak boleh, mengapa ini begini dan itu begitu.
b. Apa akibat bila dilakukan berlebihan. Contohnya “harus konkrit”.  Misalnya  kita sengaja saat memandikannya memasukkan sedikit air ketelinganya kemudian mengeluarkannya lagi. Setelah berpakaian kita katakan:”Mama mau bantu membersihkan telingamu yang tadi kena air”. Lalu kita membersihkannya dengan ‘cutton buds’. Lagi dia kelihatan menikmati: hentikan.Pasti anak akan mengeluh bahkan merengek. Itulah saatnya kita menjelaskan bahwa  kalau  mengorek kuping keseringan dan kelamaan memang enak dan asyik tapi itu akan membuat liang telinga lecet, bernanah dan akan mengganggu apa yang disebut dengan gendang pendengar. Kamu bisa terganggu pendengarannya. Begitu juga kalau kamu memegang terus  atau menggosok2kan kemaluanmu.. dst 
c. Alasan harus masuk akal menyentuh aspek kesehatan, agama, psikologis dan budaya. Tetapi penjelasan harus disampaikan sesuai dengan usia, tingkat kecerdasan, dan tipe kepribadian anak. Bahasa sederhana, kalimat pendek-pendek, dengan suara yang datar dan, intonasi yang nyaman bersahabat.
d. Ketidakjelasan akan mendorong anak melakukannya sembunyi-sembunyi.
e. Ortu harus membuat anak benar-benar mengerti dan kalau terulang harus ada kesepakatan untuk menegur anak dengan “kode”berupa kata lain yang disepakati. Cara ini untuk menghindari agar  tidak mempermalukannya apabila teguran dilakukan didepan  saudara-saudaranya atau orang lain.

Saya faham sekali, bahwa tidak mungkin menyampaikan semua ini dalam buku sejenis picbook, apalagi yang ditujukan untuk anak anak. Maksud saya hanyalah untuk menyampaikan bahwa bagi anak-anak seusia ini penggunaan istilah masturbasi kurang tepat.

Dengan semua uraian diatas, maka saya menilai rencana penerbit untuk tetap memasarkan buku ini dengan HANYA memberi label Bimbingan Orangtua di sampul buku sangat tidak tepat.
Seperti yang sudah saya jelaskan diatas : Konten buku ini bermasalah sehingga tidak patut digunakan oleh orang tua untuk membimbing anaknya. Tidak mungkin membimbing anak untuk melakukan apa yang bisa dia baca dan tiru dari buku ini. Adanya lembar Tips untuk orang tua dan”label” tidak menjadikan buku ini jadi buku Bimbingan orang tua.
Satu hal lain yang sangat penting disadari adalah bahwa anak kita adalah generasi digital. Mereka kemunginan besar telah terpapar pada beragam informasi tidak baik dari teman, media dan gadget. Buku seperti ini akan memicu peniruan dan uji coba terhadap hal hal yang tidak baik tersebut.

Bila penerbit sungguh concern terhadap anak-anak, keputusan untuk menarik buku ini adalah tindakan yang paling tepat dan terpuji. Tidak pantas Penerbit sekaliber Tiga Ananda berkontribusi pada hal negatif. Saya yakin Allah akan ganti kerugian yang ditimbulkan dari menghentikan penjualan buku ini nya dengan cara lain yang indah dan  berlimpah-limpah.

Untuk mbak Fita: Jangan patah semangat dan teruslah menulis ya mbak. Saya menghargai permintaan maaf mbak di blog mbak. Pengalaman ini kan menunjukkan ’tupai lagi jatuh ke tanah’. Jadi lain kali insha Allah akan lebih pandai melompat dan lebih cerdas dan tepat memilih ranting dan dahan untuk bernaung. Jangan ditekan oleh angin yang kencang!.Yuk, menulis dengan ilmu dan menulis dengan bijak.

Bagi anda orang tua muda pembelajar, banyak sekali  yang bisa kita pelajari ya dengan peristiwa ini. Ini mestinya membuat kita harus lebih cerdas dan kritis dalam memilih bahan bacaan dan informasi bagi anak anak kita. Jangan diperalat oleh Industri dan terperdaya oleh bujukan iklan serta bisikan teman lewat whatsapp atau sosmed lainnya. Kita harus punya prinip yang tidak apa tidak sama dengan orang kebanyakan.
Masa depan anak kita tanggung jawab kita sepenuhnya. Harus berani bilang tidak dan bersikap seperti induk ayam yang anaknya baru merekah dari telurnya. Bukankah mereka waspada dan sangat ”alert”sekali?  Nah ayam aja bisa.

Mengasuhlah berdua (Dual Parenting), dan tetap harus “SADAR dan SEPAKAT” mendidik seksualitas anak kita demi menjaga pemahaman dan keselamatan mereka sebagai bentuk tanggungjawab pada Allah swt. Tetap miliki 3C itu teman teman : Concern, Commitment, dan Continuity.
Buatlah daftar dan prioritaskan apa saja yang perlu dididikkan pada anak sesuai usia, tingkat pemahamannya, kemampuan berpikirnya, dan perkembangan emosinya.
Buat jadwal pembahasannya sepekan sekali dengan masing-masing anak. Mulai pembahasan dari hal-hal kekinian.
Selalu gunakan landasan agama dan istilah Al Quran atau kitab suci kita masing masing. Keluarlah dari tabu dan saru serta miliki miliki “the courage to be imperfect”. Lebih baik salah dari pada tidak sama sekali. Namanya kita juga : manusia.
Tingkatkan terus pengetahuan dan keterampilan berbicara. Buku Pendidikan Anak dalam Islam karya Abdullah Nashih Ulwan bisa menjadi salah satu rujukan, atau buku sederhana berjudul “Ensexclopedia” yang kami terbitkan.

Jangan pernah putus harapan terhadap rahmat Allah.

Love you all. 

Bekasi,26 Februari 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar