Jumat, 17 Februari 2017

Nyinyir kepada lawan pilkada

Pasca hasil Pilkada DKI Putaran Pertama kemarin, banyak broadcast yang bersifat nyinyir terkait dengan dukungan partai2 Islam terhadap Pemimpin Non-Muslim di beberapa tempat, seperti Papua, Ambon, Kupang, dan daerah-daerah lain yang penduduknya mayoritas Non-Muslim. Seolah-olah 'Al-Maidah 51' hanya berlaku untuk Pilkada DKI. Bahkan lebih jauh, mereka yang membuat broadcast itu mengatakan 'Muslim harus memilih Pemimpin Muslim' adalah pembodohan terhadap umat.

Untuk si pembuat broadcast beserta penganutnya, termasuk beberapa kalangan umat islam yang sempat termakan oleh issue broadcast tersebut, saya ingin menyampaikan hal ini:

1. Sepengetahuan saya, peran pemimpin politik (negara) sangat substansial: memiliki dan diberikan kekuasaan dan wewenang untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia, dari yang bersifat mikro hingga makro, individual hingga sosial, karena negara harus menciptakan dan memastikan kelangsungan maslahat manusia (agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan). Pemimpin yang mengerti dan paham mengenai hakikat maslahat manusia menurut Islam adalah pemimpin yang beragama Islam itu sendiri. Ini adalah prinsip utama.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, diperkenankan adanya 'toleransi-toleransi', sesuai kaidah fikih yang diinisiasi oleh Imam asy-Syafi'i:

اذا ضاق الامر اتسع ، واذ اتسع ضاق

"Apabila kondisi suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan, sebaliknya, jika kondisi suatu perkara luas maka hukumnya menyempit"

Sebagai konsekuensinya:

a. Jika ada 2 pilihan, kita harus memilih dan tidak boleh abstain, pilihan pertama Maslahat dan pilihan kedua Mudharat, maka wajib memilih Maslahat. Dalam konteks pemimpin, pilih pemimpin Muslim, tolak pemimpin non-muslim.

b. Jika ada 2 pilihan, kita harus memilih dan tidak boleh abstain, pilihan pertama dan kedua sama-sama Maslahat, maka wajib memilih Maslahat yang lebih besar. Dalam konteks pemimpin, pilih pemimpin Muslim yang lebih baik (lebih kompeten, lebih santun, lebih kredibel, dsb). Dalam istilah fikih, pilihan ini disebut Fikih Aulât atau Fikih Aulawiyyât.

c. Jika ada 2 pilihan, kita harus memilih dan tidak boleh abstain, pilihan pertama dan kedua sama-sama Mudharat, maka wajib memilih Mudharat yang paling ringan. Dalam konteks pemimpin yang pilihannya hanya ada dari kalangan Non-Muslim, pilih pemimpin Non-Muslim yang lebih kompeten, lebih kredibel, dan lebih santun terhadap umat Islam. Dalam istilah fikih, pilihan ini disebut Fikih Muwâzanah.

Karakter Hukum Islam yang 'fleksibel' tersebut kemudian oleh para Ulama digambarkan dalam salah-satu kaidah ushul:

تغير الفتوى بتغير الزمان والمكان والأحوال والعادات

"Berubahnya fatwa seiring dengan berubahnya zaman, keadaan dan adat setempat"

Inilah yang melatar-belakangi kenapa ada perbedaan penerapan hukum Islam di beberapa tempat dan kondisi.

Dengan menggunakan bahasa yang lain, dalam kajiah fikih, sebelum menetapkan suatu hukum atas suatu masalah, kita harus terlebih dahulu mengetahui dan memahami secara rinci dan pasti masalah dimaksud. Kegiatan proses ini disebut tashawwur al-mas'alah. Tanpa proses ini, proses berikutnya, penetapan hukum, tidak dapat dibenarkan. Kaidah menyatakan:

الحكم على الشيء فرع عن تصوره

2. Poin penting berikutnya yang ingin saya sampaikan: kalau kita tidak tahu latarbelakang penerapan hukumnya, janganlah bersikap sok tahu, memaksa tahu, ikut menyinyir, atau sekedar ikut mem-broad cast agar dipandang sebagai orang yang 'berfikiran maju dan toleran'. Dalam konteks ini, bersikap diam akan menyelamatkan kita.

Wallâhu A'lam bish Shawab

M Yusuf Helmy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar